Jumat, 12 September 2014

Menatap Gelap



Malam ini seorang perempuan ingin sendiri. Sesuatu yang mengusik kepala telah membuat ia melangkah menuju tempat yang sepi. Jauh dari kota. Jauh dari lampu dan cahaya malam yang selalu akrab dengannya. Mungkin juga jauh dari dirinya sendiri.

It's not going well, rintihnya. Sesuatu membuatnya berpikir keras. Ini tentang harapan yang ia lambungkan jauh ke angkasa. Telah banyak kata yang ia terbangkan ke dinding langit. Tapi belum juga mendapat balasan. Dan kemudian ia menyadari, bahwa harapan yang terlalu tinggi, tak pernah selalu baik.

Maka ia duduk disini. Di kegelapan padang rumput, yang tak terlihat oleh sesiapa. Laiknya yang putus asa, ia memeluk lutut, menatap langit yang seolah pelit menampakkan gemintang. Bahkan langitpun kosong. Rupanya alam seperti memahami apa yang ia rasakan.

Lalu beberapa bayang seolah berkelebat di depannya. Memori tentang kebersamaan, senyum dan kegembiraan, datang membesarkan hatinya, membentuk mozaik indah di kegelapan langit. Maka beberapa jenak, ia lupa akan hal yang membawanya ke kesunyian ini.

Dan saat ia tak menyadari bahwa ia tengah tersenyum, satu kata muncul dalam benaknya, menghadirkan rasa yang sesegera mungkin ingin ia resapi detik itu juga:



pulang.

Minggu, 13 Juli 2014





KEPADA BOCAH-BOCAH PALESTINA: AHMAD, FATIH, YASIR DAN FAZA

Assalamualaykum, adikadikku sayang. Apa kabar kalian? Masihkah bersetia dengan batu dan katapel? Masihkah terjaga oleh bombardir, sementara kalian sedang belajar menghitung di sekolah? Masihkah puluhan drone mengintai, sementara kalian sedang belajar mengeja nama kalian masing-masing?

Terasa pilu, adikku. Kami dengar perang dibangkitkan kembali oleh biadab Israel. Sesungguhnya kami tak menyangka ini akan terjadi saat begini: kenapa harus di bulan puasa?

Bukankah di bulan ini seharusnya kalian tengah mempersiapkan bekal terbaik menuju akhirat? Bukankah kalian harusnya tengah khusyuk mengaji atau menghafal Alquran dalam kesakinahan? Bukankah kalian harus gembira menyambut malam-malam Nuzulul Quran dan I’tikaf? Bukankah harusnya menggigit kurma itu menjadi nikmat dengan kehadiran senyum keluarga kalian?

Tapi, seberapa terkutukkah Yahudi Israel itu, adikadikku? Seberapa biadabkah kumpulan orang yang mengirimkan bom, rudal, pesawat tak berawak untuk memata-matai manusia-manusia tak bersalah?

Seberapa terlaknatkah Yahudi Israel yang memporakporandakan rumah sakit, rumah tahfidz, sekolah, lalu menyebabkan tumpahnya airmata dan darah di tubuh-tubuh mungil kalian?

Tapi, sebegitu muliakah kalian, wahai Ahmad, Fatih, Yasir, dan Faza? Hal mulia apa yang telah kalian lakukan hingga syahid begitu mudah kalian raih -hingga kalian begitu cepat menuju Alloh Azza wa Jalla?

Maka maafkan kami, Yaa Ahmad!
Maafkan kami yang sibuk dengan anakanak kami, memberikan mereka pakaianpakaian serba bagus dan mahal, menyekolahkan mereka di sekolah bergengsi; sementara kau sibuk belajar bagaimana cara melempar batu agar tepat mengenai kepala para biadab itu!

Maka maafkan kami, adik Fatih!
Berdosalah kami yang terlihat sok membelamu, menyebut namamu ketika pencalonan presiden semata untuk pencitraan di depan media; sementara kau, tak ada yang tahu bahwa kau lelah berlari, nafas sisa kurang dari separoh, hanya untuk menghindar dari serangan bom!

Maka maafkan kami, wahai Yasir!
Maafkan kami yang lalai mengingatmu dan mendoakanmu dalam shalat kami, kami lupa dengan status kalian sebagai saudara seiman yang harus dibantu tanpa pamrih.

Maka maafkan kami, adinda Faza!
Maafkan kami yang tak memberi perhatian lebih ketika berita tentangmu muncul di televisi, sementara kami segera mengganti channel untuk menonton real count atau Piala Dunia dan jika ada yang bertanya ‘Apa yang telah kau berikan untuk Palestina?’ kami enteng menjawab ‘Hei, itu bukan urusan saya!’

Lalu di antara semua itu, kudengar kalian lantang berkata:
'Hei, Yahudi Israel terlaknat!
Tembak-tembakilah kebun kami!
Hancur-hancurkanlah rumah kami!
Roboh-robohkanlah masjid kami!
Sebab dada kami masihlah terlampau luas untuk menampung peluru-pelurumu…'

(Uswatun Hasanah Musa, 11 Juli 2014)




Minggu, 15 Juni 2014

Suara untuk Ayah

Pagi ini hujan di kotaku, Ayah. Langit kelam. Semoga itu bukan gambaran keadaan kita. Ayah, apa kabar? Sudah lama aku tak menulis surat untukmu.

Bagaimana kabar kesehatanmu, Ayah? Aku dengar kau terbaring di kamar beberapa waktu lalu. Ibu berkata bahwa tekanan darahmu naik lagi. Tahukah aku khawatir disini? Meski seperti biasa, betapa angkuhnya aku tak pernah menunjukkan kepedulian untukmu. Maafkan aku, Ayah. Beginilah aku, tak bisa berkata bahwa aku sayang padamu, tak bisa berkata bahwa aku rindu padamu, tak bisa berkata bahwa sampai kapanpun aku tak ingin kau tiada, tak bisa berkata bahwa aku tak sanggup jika tak pernah bisa melihatmu lagi. Bagimu, mungkin aku anakmu yang angkuh, Ayah. Tapi yakinlah, tak pernah ada yang bisa mencintaiku sepertimu. Maka kau adalah lelaki pemilik hatiku selamanya.

Ayah...
Menurutmu apakah arti cobaan dalam hidup? Apakah itu sebagai karma atas segala keburukan yang pernah kita lakukan? Tapi seperti pesan yang pernah kau titipkan, aku berusaha untuk selalu berbuat baik pada semesta. Lalu, kenapa cobaan tetap ada? Apa untuk menguji kekuatan manusia? Tapi, Ayah, jika memang begitu, sepertinya aku sedang tidak sanggup menghadapi ini. Seandainya kau ada bersamaku disini, Ayah, mungkin aku akan tegar. Karena matamu, bau tubuhmu, dan suaramu adalah penggugah setiap saat.

Lalu kenapa aku harus merantau, Ayah? Kenapa aku harus ingin jauh darimu? Kenapa kau begitu rela membiarkanku sekolah jauhjauh?

Barulah aku mengerti. Rupanya kau tak ingin anak perempuanmu ini menjadi "kerdil" di tanahnya sendiri. Barulah aku sadar, aku harus melihat dunia. Aku harus berjalan, menjejakkan kebaikan. Begitu maksudmu.

Dan aku teringat kembali tentang masa kecil. Tentang kau yang mengajakku ke sawah kita -meski pagi belum tiba. Disana kau menunjuk Si Bintang Timur di atas langit. "Itu Venus, Nak. Ia salah satu planet di tata surya." Pekan berikutnya, kau mengajakku ke sawah lagi, dan kau menunjuk ke arah selatan. "Itu rasi bintang selatan. Bentuknya seperti lelayang tak sempurna." Malam yang lain, kau menunjuk langit di arah barat. "Lihat rasi itu. Mirip alat yang Ayah pakai di sawah tadi, kan?" Ah, Ayah. Segala hal tentang langit kau ajarkan padaku. Betapa kuat semua ingatan itu. Serupa alarm agar aku tak tersesat kemanapun aku pergi. Maka sejak saat itu, bagiku langit adalah pelukanmu.

Akupun ingat, sewaktu kecil, kau selalu membawa pulang puluhan buku sebagai bacaanku. Maka kau akan melihat, sepulang sekolah, aku yang masih berseragam lengkap telah bergumul dengan bukubuku. Dan kau akan tertawa karena melihat ibu yang setengah mati mengajakku makan siang saat aku asyik bersama buku. Begitulah caramu agar "mengikatku", agar terjauh dari pengaruh buruk di luar rumah.

Aku ingat, saat aku lama terbaring sakit, kau tak pernah menampakkan wajah sedihmu. Tapi aku tahu, kau sekuat tenaga menahan airmata, karena aku melihat dari matamu yang mulai memerah. Aku tahu, kau tak kuasa ketika kau membantuku berjalan lagi sambil berkata, "Ayo, Nak. Coba lagi. Jangan takut, Ayah disini. Ayo melangkah. Agar kakimu tak kaku karena terlalu lama di tempat tidur." Ah, Ayah. Mungkin begini caramu mengajariku sewaktu kecil?

Ayah...
Aku pernah bertanya dalam hati, kapankah seorang anak bisa lepas dari orangtua? Dan itu akhirnya terjawab berkat cintamu, Ayah. Pernah suatu kali, kau menelpon dari kampung. "Kau baikbaik saja, Nak?" Kujawab, ya. "Dua pekan lalu, Ayah bermimpi kau sakit. Benar itu?" "Ah, Ayah terlalu khawatir. Aku sehat, Ayah." Sebegitukah kuatnya telepati ayah dan anak? Maaf, Ayah. Waktu itu aku berbohong. Benar bahwa saat itu aku masuk UGD sebuah rumah sakit. Aku tak mengabarkan karena takut kau khawatir. Jika berbohong itu baik, maka telah kulakukan. Karena aku menyayangimu. Sangat menyayangimu.

Ayah, sesungguhnya aku sedang rindu. Aku ingin pulang. Aku ingin membawa beberapa kisah padamu. Tapi bisakah kuceritakan semua itu? Ah, Ayah. Kenapa kita berdua diciptakan sama? Kenapa kita tak bisa mengutarakan isi hati kita? Aku selalu ingin kau tahu apa yang ada di kepalaku. Akupun tahu kau begitu, ibu pernah berkata padaku tentang itu. Lalu siapa yang akan menyatukan isi kepala kita?

Ayah...
Musim berganti. Sudah bertahuntahun aku jauh darimu, dan rindu tak pernah jauh untukmu. Maafkan segala kesalahan dan ketidakenakan hati yang kusebabkan. Betapa bodohnya aku jika melukai hati lelaki sepertimu. Durhakalah aku jika menceritakan keburukanmu pada orang lain. Ah, keburukan apa pula yang harus kuumbar? Karena itu tak pernah ada.

Maka, Ayah, maafkan anakmu ini. Percayalah, anakmu ini mencintaimu. Aku menyayangimu, Ayah. Dan terimakasih atas hidup yang telah kau antarkan padaku. Terimakasih, Ayah. Terimakasih sebanyak bintang...