Selasa, 10 September 2013

Ini harus dituliskan





Tapi ini bukan tentangmu, sayang. Percayalah, betapapun, apapun yang terjadi, aku tak akan menuliskan keburukanmu –yang sesungguhnya tak pernah ada.


***


Andai saja kita berteman di facebook, akan kutandai catatan ini untukmu. Kita saling mengenal, tapi entah kenapa, dulu, saya enggan sekali meng-klik “Tambah Sebagai Teman” di akunmu. Barulah saya sadari sekarang bahwa keadaan ini bagus juga. Kita tak perlu berteman lebih jauh. Karena kita tak bisa.


Kita bertemu bisa dihitung sebanyak jari tangan. Tak sering. Tapi saya tahu tentang kisahmu. Saya tahu tentang lelaki yang hidup denganmu sekarang. Saya tahu bagaimana lakilaki itu resah sebelum akhirnya bertemu denganmu. Saya sangat tahu, karena rupanya Tuhan membuat kami bertemu untuk menceritakan tentangmu. Saya juga tahu tentang kau di malamyang membuatmu menunggu lelaki itu. Ah, sesungguhnya saya pernah menuliskan sesuatu tentangmu: waktu itu saya tak menyukai hal yang kau lakukan.


Well, saya menulis ini bukan untuk menyesali hal yang baru saja terjadi. Sudah saya katakan, ini tak ada kaitannya dengan itu. Tahukah, kau terlalu “menyedihkan” untuk disesali? Toh saya tidak akan menyesali apapun. Catat itu!
Rupanya kau tak seperti yang saya bayangkan. Saya kira kau hebat. Setidaknya, sekarang saya tahu lebih jauh tentang dirimu. Tak usahlah kusebutkan berapa banyak kesalahanmu, kecuali satu: kau mengira mengenalku. Kau mengira bisa menentukan bagaimana hidup saya, seperti yang terjadi pada hidup orang lain. Sekali lagi saya tegaskan, kau tidak mengenal saya!



***


Anda membenci saya? Izinkan saya tertawa dulu.


Anda juga sangat menyedihkan. Saya tak seperti yang anda kira. Okelah, silakan membenci saya. Tapi yang saya ingin sampaikan adalah: saya adalah pembenci terhebat bagi diri saya sendiri.
Seandainya membenci adalah perlombaan, maka percayalah bahwa ANDA TELAH KALAH SEBELUM ANDA MENDAFTAR LOMBA ITU.

Jumat, 01 Februari 2013

Catatan Tanpa Tanda

Saya mengherani diri saya, malam ini. Sesuatu yang tidak biasa bagi saya, setelah saya sadari, bahwa saya membelah malam ini tanpa sebuah jaket. Sungguh saya heran, apalagi ketika saya menyadari bahwa saya tidak kedinginan. Tak seperti biasa. Sekiranya saya akan mendapatkan sesuatu yang saya inginkan malam ini. Seharusnya saya akan tersenyum bangga malam ini. Setelah menemuinya, di jalan poros itu, saya berpamitan sembari memohon doanya untuk saya. Yeah, doa dia dan keinginan saya tidak terwujud.
Selanjutnya, saya menyandarkan diri di sebuah pos jaga yang temaram. Saya menunggu ponsel saya berdering, terserahlah tanda dari sesiapa. Saya menunggu, tapi ponsel saya tak berdering juga. Lalu dari kegelapan sana, muncul seekor anjing berbulu keemasan, menatap saya. Tapi saya merasa, tatapan itu justru tantangan. Maka saya lawan tatapan itu. Sialnya, anjing itu menjulurkan lidah seolah bertanda “You are a loser!”. Ha!, tak tahukah bahwa justru ialah pengecut yang berjalan ketakutan dengan lidahnya yang terjulur menjijikkan. Well, saya sepertinya mulai ngawur… Tapi disaat saya ingin serius dengan sebuah bacaan, di bawah temaram, seekor anjing lain muncul, bulunya hitam, menggonggong ke arah saya. Sial! Disinilah baru saya sadari kodrat saya: SAYA TAKUT ANJING! Lalu saya memutuskan untuk tidak menunggu, lalu mengambil kunci motor, lalu mengintip pintu rumah itu sekali lagi, lalu pergi… Rupanya di jalan yang sekiranya bernama pulang, hujan mulai gerimis…dan menderas.
Di atas motor, saya berpikir akan ke sebuah tempat entah kemana. Tapi rupanya saya (tetap saja) menuju rumah. Hujan terasa bersemangat, dan pandangan saya malam ini tidak bisa menjangkau lebih dari dua meter di arah depan sana. Barulah saya sadari (lagi), tanpa jaket saya tidak merasa kedinginan, meski saya kehujanan! Luar biasa benar malam ini bagi saya! Lucunya, saya tidak beranjak menancap gas lebih cepat dan justru menikmati hujan yang tidak dingin ini. Saya mencoba berpikir tentang apapun, termasuk kenapa saya tidak kedinginan.
Tapi, akhirnya pikiran saya bermuara pada satu: KITA. Bahwa benarlah kita tak melandasi senyum, belaian dan pelukan dengan sebenarnya cinta. Kita tak bisa (mau dan) saling memercayai, saling berbagi, seperti yang sepatutnya. Apakah sesungguhnya makna diri kita bagi kita? Ah, saya merasa ingin dihujani lagi malam ini. …………………………………. (Sampai sekarang, ponsel saya belum juga berdering. Saya tetap menunggu)